“Mungkin
suatu saat nanti aku akan kembali, untuk melamarmu.” hanya kata-kata itu yang bisa menghidupkannya
hingga sampai sekarang ini, kata-kata itu yang bisa menyegarkan kehidupan gadis
lanjut usia bernama Nirmala itu usianya kini 29 tahun sebuah usia sudah bisa
diberi gelar gadis tua untuk ukuran orang desa, bukan ukuran orang kota
meskipun usia sudah terlampau lanjut mereka belum memikirkan kehidupan dibalik indahnya
pernikahan, katanya masih mau menikmati indahnya pacaran atau masih ingin
menikmati masa lajang.
Bukan
sedikit para pria datang untuk melamarnya. Tapi, kenapa mulutnya begitu lancar
untuk menyatakan menolak. apa lagi ketika ia teringat kata-kata itu, Nirmala
sangat cepat mengambil keputusan. Menolak. Setiap lamaran yang datang padanya.
“Mala
kenapa kamu tidak menerima saja lamaran Ridwan” Suara Bu Rakitem si pemilik
warung kopi, membuyarkan konsentrasi Nirmala saat mengaduk-ngaduk kopi pesanan
nelayan.
“
Bu aku sama sekali tidak menyukai,
Ridwan.” jawaban itu lah yang selalu
dipegangnya saat Bu Ratikem membahas masalah lamaran, tidak menyukai, belum saatnya, sepertinya
tidak pantas dan lain-lain.
“Mala,
cinta itu akan tumbuh setelah pernikahan nanti, dan itu lah cinta suci.” Jelas
Bu Rakitem.
“Justru
itu Bu, Mala tak ingin menodai sucinya cinta karena keterpaksaan Mala menikah
dengan Ridwan yang sebenarnya rasa cinta itu tidak ada dihatiku.”
“Ya,
sudah itu keputusanmu.Tapi, ingat usiamu Mala!”
Usia
menjadi momok yang sangat menakutkan Nirmala saat ini, cibiran warga desa
selalu menjelma menjadi suara
menimbulkan tangisan di dalam hatinya, perih memang mengingat usia yang tak
muda lagi, apakah cintanya sudah kering untuk seorang lelaki setampan dan
sekaya Ridwan, seorang kestria cinta, tak pernah putus asa untuk selalu memburu cinta yang
bersemayam dihati Nirmala. Dalam bayangannya belum ada laki-laki yang bisa
mengisi kekosongan hatinya.
* * *
Diujung
pantai berpasir putih ingatan mencoba mengodanya untuk menari disana, saat
Juanda masih erat didekatnya, saat pohon
cinta itu tumbuh melesat hingga menumbuhkan lagi ranting-ranting cinta,
bertunas, mengakar, akarnya pun sanggup masuk ketanah dalam sekali hingga susah
untuk dicabut dan juga tunas mudanya tumbuh begitu cepat ditambah air-air hujan
penuh cinta berjatuhan dari gumpalan awan yang rindu kasih sayang dan setelah
itu tunas muda sebanyak mungkin
memendung air hujan dibatang pohon belum lagi akarnya menyerap air kasih sayang
dari dalam tanah gempur dan subur, mungkin kemarau yang mampu meretakkan tanah
tak sanggup untuk mengusik pohon cinta itu, tak pernah putus berregenerasi cinta pada
dirinya.
Itu
yang menjadi pedomananya untuk memperkokoh rasa cintanya meski sudah tujuh
tahun lamanya Juanda pergi, mencari penghidupan lebih baik agar setara
derajatnya dengan orang tua Nirmala yang begitu terpandang dikampung nelayan.
Lalu kembali dengan keadaan berubah kemajuan dan melamar Nirmala itulah
janjinya sebelum Juanda meninggalkan Mala, kampung halaman dan cinta.
Suara
kapal api itu. Nirmala berlari kencang menuju dermaga warung kopi ia tinggalkan
rasa rindu yang berat memaksanya berbuat seperti ini, entah hanya Juanda yang
ada dipikirannya, melayang di pelabuhan. Matanya terbayang sosok Juanda
laki-laki berkulit sawo matang itu turun dari kapal api lalu tersenyum melirik
Mala yang telah lama menanti senyum, sumeringah dan mata bening berbinar-binar
menjadi respon pertama Nirmala ah itu hanya halusinasi, nafasnya
tersengal-sengal detak jantug terus memompa.ia terhenti, sembari merapikan
kerudungnya yang berantakan saat berlari tadi matanya menelisik setiap orang yang
turun dari kapal. Cukup lama. Hampir sebagian penumpang sudah turun namun matanya
belum menangkap sosok Juanda, kepasrahan membaluti dirinya besok pagi kapal itu
pergi dan akan kembali setengah bulan lalu.
Dalam
larutan kopi hitam pahit Mala menaburinya dengan beberapa butiran gula pasir agar ada rasa
manis ditengah pahitnya walau sedikit, sedikit pahit mencampur didalam rasanya.
Kopi hitam pahit begitu kental, sekental rasa cintanya dan seencer kopinya
untuk Ridwan.
* * *
Setenggah
bulan sudah bertiup, Tiupan asap menggepul dari cerobong hitam kapal itu.
Suaranya mampu mengugah Nirmala dari
keputus asaan, dari penantian. Dalam detak membara dan sayap-sayap cinta mampu
membawanya terbang melayang menembus awan putih dan membelah birunya langit dan
dalam kegetiran hidup ditenggah pahitnya kopi, lagi-lagi warung kopi menjadi korban keganasan cinta yang sudah
stadium empat itu. Langkah kakinya begitu ringan dan lincah membawanya melawan
arus perjalanan dimana sebagian penumpang sudah berhamburan keluar kapal, masih
dalam penantian gerik matanya cantik dan lincah dibawah kerudung merah
menelisik setiap lelaki yang turun dari kapal, masih dalam penantian hatinya menjelma
bak anak ayam mencari induk, berciap
tak ada hentinya.
“Mala...”
tiba-tiba suara laki-laki sangat lembut menyapa Nirmala dari belakang, suara lembut itu sapaan itu.
Sungguh mampu menumbuhkan bunga yang sempat mati kekeringan didalam hati Mala,
matanya bening, senyumnya sumeringah, wajahnya seperti bernyawa mungkin inikah
dia. pikir Nirmala, dalam detik bertiup ia membalikkan badan.
“Maaf
Nirmalakan, anaknya Pak Zainal orang terpandang di kampung nelayan?” tanya
pemuda it.
“Iya.”
jawab Mala sedikit lemas
“Aku
Nizam, aku hanya ingin memberikan titipan surat dari Ju, untukmu.” jelas lelaki
berpakaian lengkap khas melayu, lumayan tampan.
“Oh,
iya terima kasih.” timpal Nirmala, ada keruntuhan dalam dirinya, ada keretakan
dihatinya, ada kegoyahan dalam jiwanya, dan yang pasti dalam penantiannya kali
ini tidak merasa tersia-siakan. Surat. Batinnya gembira.
Dibawah
terang bulan, dibawah jendela rumah.
Assalamualaikum, dik
Mala. Maafkan Kanda sudah lama kita berpisah baru kali ini Kanda bisa mengirim
kabar melalui surat yang Dik Mala baca sekarang. Oh ya. Apa kabar Dik Mala,
Abah dan juga Ummi, Kanda hanya bisa mendo’akan semoga Allah selalu melimpahkan
kesehatan kepada Dik Mala sekeluarga. Dik Mala apakah masih ada secuil rasa
didalam hati Adik? Apakah adik masih sendiri, ataukah sudah ada kestria pilihan
Abah dan Ummi yang selalu mendampingi hidupmu. Kalau Dik Mala masih sendiri apa
yang sedang Adik rasakan saat ini, rindukah? Kalau adik merasakan rindu cobalah
adik memandangi bulan malam ini dan bayangkan ada wajah kanda sedang tersenyum
pada adik, jika dik Mala sedang senang cobalah mengirimkannya melalui angin
pantai, dan jika adik sedang duka cobalah berbagi lewat hati mudah-mudahan apa
yang adik rasakan akan dapat Kanda rasakan juga, walau jarak kita dibatasi
lautan. Tapi, tak bisa menghalangi rasa Kanda pada Dik Mala. Dik Mala dalam
kejauhan Kanda selalu merindukan masa kita dulu, berlari hingga tertawa,
bermain-main dengan ombak pantai dan ingatkah Dik Mala pada Dermaga itu,
Dermaga terciptanya sejarah kita Dan Dermaga itu menjadi saksi saat Kanda harus
menentukan pilihan dan Dik Mala lah yang menjadi pilihan Kanda, Dik Mala
teguhlah dalam sebuah penantian, Kanda akan usahakan secepatnya pulang dan
menghadap Abah dan Ummimu, Wassalamualaikum
Kanda Ju
Nirmala
telah senyum getir, ia merebahkan tubuhnya di pembaringan sembari mendekap
selembar surat. Sungguh kehidupan yang baru tercipta dalam dirinya, sebuah
kehidupan penuh gairah dan semangat membara, Mala beranjak dari pembaringan
diambilnya bulpen dan selembar kertas.
Wa’alaikumsalam, Kanda
Ju, tak apalah Kanda selembar surat yang kanda kirim ini sudah cukup bagi
Adinda sebagai penawar rindu begitu dalam ini. Alhamdulilah Adinda, Abah serta
Ummi baik-baik saja. Kanda sendiri apa kabarnya, semoga Allah selalu melindungi
Kanda di tanah perantauan, tentu bukan secuil rasa dihati Adinda untuk Kanda.
Adinda masih sendiri dan tidak ada kestria yang bisa mengantikan Kanda meskipun
pilihan Abah dan Ummi, tentu kanda sudah tujuh tahun kita berpisah rasa rindu
ini begitu menjadi-jadi di kalbu, Kanda juga kalau Kanda sedang Senang cobalah
untuk mengirimkannya melalui ombak laut,
dan jika sedang sedih maka kirimkanlah lewat rumput-rumput yang ditendang badai
biarlah ia mengirimkan diatas ketidak berdayaannya. Apa yang kanda rasakan
Adinda juga akan ikut merasakan, tentu Adinda tidak melupakan dermaga itu, dan
Adinda menginginkan Dermaga itulah yang akan mempertemukan dan menyatukan kita
kembali, sebagaimana dulu. Cepat pulang Kanda, adinda akan setia dalam penantian
dan selalu menantikan ikatan yang halal darimu, Wassalamualaikum
Adinda Mala
Dan
mulai saat itu, setiap tiga bulan sekali Mala selalu menunggu Nizam untuk
menerima surat dari Juanda. Begitupun sebaliknya melalu Nizam ia mengirimkan
surat balasan, sungguh harapan baru bermunculan sungguh masa yang tak
ingin dilupakannya, pohon cintanya kini
tumbuh dengan besar dan menjadi pohon cinta raksasa yang dengan suburnya tumbuh
dihatinya, tunas itu sudah berubah ranting dan ranting itu menumbuhkan tunas
baru daun-daun baru, sungguh kisah yang mengelokkan, menciptakan sanubari terundah, biarlah cinta tumbuh
dengan sendirinya beserta pupuk ketulusan selalu membahana dihati, namun
biarlah air mengalir begitu syahdu
menyerebak kerjenihan cinta tanpa adanya lumpur dosa yang hinggap ditepi-tepi
kalbu, Nirmala sungguh tak ingin semuanya berlalu begitu saja.
* * *
Di
warung kopi dekat pelabuhan, Nirmala bekerja disana pula tempat ia menunggu
kehadiran Juanda pulang dan akan
menemuinya. Sudah hampir tiga tahun sepucuk surat dari Juanda tak ia dapat lagi
sungguh ini hanya bisa membuat rasa kekhawatiran dan ketakutan yang teramat
bagi Mala, meski ia tahu betapa sulit untuk bisa menerima semua ini. Kegusaran
hidupnya ditambah lagi oleh Abah dan Umminya yang menginginkan dirinya untuk
segera menikah tanpa harus menunggu kedatangan Juanda yang tak jelas kapan
kehadiran, dari awal Abah dan Ummi Nirmala memang tak mensetujui hubungannya
dengan Juanda karena Juanda bukan derajat sepadan dengan keluarga Zainal yang
memiliki kekayaan berlimpah ditanah melayu. Tapi, cinta memang begitu rumit,
sampai-sampai Mala rela meninggalkan kehidupan yang layak bersama keluarga dan
rela bekerja di warung kopi demi lelaki tak jelas, masa depannya pun sulit diterawang.
Lalu Nizam orang yang sering menjadi burung merpati untuk Nirmala dan Juanda
tak ada kabar tentangnya, bahkan Nizam tak terlihat dirumahnya setiap tiga bulan
sekali waktu pulang dari tanah rantauan. Kini rasa itu entah telah kemana, rasa
itu lenyap di timbun bumi untuk mengalinya lagi pun sangat sulit.
Malam.
Sulit rasanya memejamkan mata Abah dan Ummi benar-benar sangat mendesak. Ridwan
akhirnya timbul dalam pikiran mungkin inilah pilihan yang tepat untuknya disaat
lelaki itu tak kunjung kembali, dan disaat ada lelaki masih menanti, soal cinta biarlah waktu yang akan mengajarkan
rasanya mencintai bukan dicintai
Pagi,
warung kopi Bu Rakitem baru buka.
“Mala,
ada undangan buatmu diatas meja” Teriak Bu Rakitem dari belakang. Mala begitu kaget ketika melihat undangan berukir nama
“Nisa & Ridwan” (*)
Fahry Alamsyah
Prabumulih,
2 Oktober 2012