“Manusia
tiga wajah!...manusia tiga wajah!” Teriak lelaki itu, berlari-lari mengikari
kampung yang berada di barat kota kecamatan dan sebelah barat pegunungan hijau.
Semua warga lainnya ikut berteriak, ketakutan, setiap warga langsung menuju kerumah masing tanpa
terkecuali, bapak-bapak dengan bergegas mengambil dan memasukkan hewan
ternaknya kedalam kampung, para ibu-ibunya tak tinggal diam mereka memangil
anak-anak mereka untuk masuk kedalam rumah, suasana desa mencekam.
“Manusia
berwajah tiga! Manusia berwajah tiga!” teriak lelaki itu berkali-kali belum
berhenti kalau orang-orang kampung tidak di posisi aman.
Aku
semakin memperhatikan tindakan mereka, tak mengerti! Atas apa yang mereka
lakukan setibanya aku di kampung ini. Dengan tubuh yang tegap aku berdiri di
bawah gardu, mengintai setiap langkah-langkah ketakutan yang mereka rasakan.
Braakkk...
Suara
lelaki sedikit tua, terhuyung jatuh ke tanah bercampur pasir dan kerikil. Aku segera bergegas menghampirnya.
“Pak,
ada apa ini semua orang ketakutan?” Tanyaku seraya membantunya untuk bangkit.
“Ada
manusia berwajah tiga, Mas!” jawab lelaki itu gemetaran. “Sebaiknya Mas cepat
cari tempat persembunyian!” lelaki itu kemudian berlari mencari tempat
persembunyian. Aku masih diam di tempat.
“Ibu...Ibu!”
teriak seorang anak kecil di seberang jalan.
“Nak,
ke sini nak, cepat! Nanti ada manusia itu.” Balas teriak seorang ibu di balik
pintu rumahnya, anak itu terjebak dalam bahaya pikirku, aku segera berlari ke
tempat anak itu berlari dan membawanya ke rumah ibu.
“Maaf
bu, ini ada apa! Kenapa semua warga merasa ketakutan?” tanyaku pada ibu itu.
“Ada
manusia kejam, Mas! Sebaiknya mas bersembunyi saja.” Jawabnya dan dengan cepat
ia menutup pintu itu rapat-rapat. Aku berlari mencari tempat persembunyiaan,
aku sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Tak lama
datanglah sekelompok orang, mereka terdiri dari laki-laki dan wanita, turun
dari mobil hitam mengkilat, berkaca mata hitam, berjaket jeans dan kulit.
“Tempat
ini sepertinya cocok untuk proyek kita,” ucap seorang lelaki berkumis tebal itu
sambil memilin-milin sebatang rokok yang sedang menyala.
“Iya
pak, ini tempat cocok untuk mega proyek ini!” kali ini ucap seorang pemuda,
tapi melihat dari penampilannya sepertinya ia pemuda dari kampung juga.
“Lalu,
bagaimana dengan proses perizinan?”
“Nanti
saya akan coba mendekati perangkat desa sini pak, mulai dari keamanan sampai
kepala desa.”
“Kau
yakin semua akan mulus.”
“Kalau
ada pulus semua akan mulus, Pak.” ucap pemuda itu samar-samar, lelaki berkumis
tebal itu menoleh pada seorang wanita cantik di sampingnya seolah sudah
mengerti wanita itu langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya.
Pemuda kampung itu sungguh memancarkan wajah sumeringah tatkala menerima sesuatu
di bungkus amplop cokelat.
* * *
Pagi-pagi
sekali aku bangun, setelah sholat subuh dan sarapan pagi aku keluar untuk
melihat aktivitas orang-orang kampung Kaki Selangit, karena aku adalah
mahasiswa pertama yang hadir disini dari
dua belas mahasiswa lainnya yang akan melaksanakan tugas kuliah KKN di kampung
ini. Kaki Selangit. Setelah cukup lama
mengitari desa ini, aku merasakan kedamaian dan ketentraman di kampung ini saat
pagi, pegunungan hijau terpampang jelas di hadapanku, sungai-sungai dengan air
nan jernih mengalir meliuk-liuk mengikuti arus, batu-batu gunung menjadi media
gemericik air itu, kicau-kicau burung, suara hewan ternak yang di tarik menuju
padang rumput oleh pemiliknya, sawah-sawah nan hijau.
Tapi
aku tidak habis pikir dengan kejadian kemarin sore, kenapa warga kampung ini
seperti di landa rasa ketakutan yang begitu mengerikan. Apa sebenarnya yang
terjadi di kampung ini, adakah bahaya yang akan mengancam mereka. Aku duduk di
sebuah pohon raksasa yang sudah tumbang, menghadap pegunungan nan hijau dan
jurang yang di bawahnya mengalir sungai ber mata air jernih. Kulihat para
ibu-ibu sedang berusah payah menaiki setapak demi setapak anak tangga yang
terbuat dari bebatuan itu, dengan beban di punggung mereka dan anak-anak kecil
itu tertawa riang melangkahkan kaki-kakinya, aku tersenyum melihat tingkah
mereka.
“Sepertinya
kamu orang baru disini?” Aku terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba hadir
dari sampingku. Aku menoleh, sebuah pertanyaan dari seorang gadis cantik.
“Oh,
iya kenalin aku Raihan.” Jawabku sembari menyodorkan tanganku, tapi hanya di
balasnya dengan senyuman dan tangkupan tangan di depan dada.
“Aku
Sekar. Aku sudah tau, kamu mahasiswa dari kota provinsikan yang akan
mengerjakan tugas dari kampus di kampung ini, diposko kesebelas temanmu sudah
datang.” Ucapnya.
“Kamu
tahu aku mahasiswa kota provinsi darimana?”
“Abahku
kepala desa disini, aku tahu dari beliau kalau akan ada mahasiswa yang akan
datang, dan beliau pula yang menyuruh aku mencari kamu pagi ini.” Aku diam, di perjalanan
ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadanya. Tapi, rasanya kenapa lidahku
sulit untuk mengucaokan sesuatu, apa karena lantaran kami baru saling mengenal.
*
* *
Sudah
hampir dua bulan lebih aku dan kesebelas teman mahasiswa berada di kampung ini,
demu tugas-tugas, sesekali aku dan kesebelas mahasiswa lainnya masih
menyaksikan kejadian yang menakutkan dan penuh tanda tanya atas apa yang di
alami oleh warga kampung, belum lama aku kembali menyaksikan apa yang pernah
kulihat saat kali pertama aku tiba di kampung Kaki Selangit, begitu mengerikan,
teriakkan anak-anak, suara hyteris dari pemuda-pemuda kampung dan ratapan
kecemasan dari para ibu-ibu dan lelaki tua.
Minggu
pagi, semua orang berkumpul di balai desa untuk sidang desa dengan wacana apa
yang warga takuti selama ini, Pak Rahmat selaku kepala desa memimpin persidangan
itu. Mataku yang ikut dalam persidangan sesakali mengedarkan pandang ke depan,
kehadapan para pimpinan sidang. Pak Rahmat akan segera memulai sidang dan Sekar
gadis manis itu datang membawa micropon lalu duduk di samping seorang pemuda,
mataku membulat besar saat melihat
pemuda disampingnya itu, pemuda kampung yang pernah aku lihat saat warga
ketakutan saat pertama kalinya aku datang ke kampung ini, pemuda yang berdiri
diantara orang-orang kota itu. Sepertinya ada yang tidak beres.
Sebulan
kemudian di saat masa akhir-akhir kami KKN di kampung Kaki Selangit, warga
berduyun-duyun berunjuk rasa di depan kantor kepala desa, mereka tidak setuju
atas tindakkan kepala desa yang telah mengambil langkah setidak pengetahuan dan
persetujuan dari mereka, warga makin memanas ketika seorang pemuda pembersih
kantor kepala desa, keluar menghadapi
warga kampung yang makin beringas.
“Pak
kepala desa tidak ada ditempat.” kata pemuda itu.
“Kemana
pak kades?” tanya salah seorang warga dengan wajah yang sangat marah.
“Kekota
provinsi.” Sebagai pelampiasan kemarahan warga langung menyerbu dan merusak
kantor kepala desa, aku yang menyaksikan peristiwa itu berusaha melerai dan
menghalangi tindakkan konyol mereka tapi apa daya warga yang sudah tersulut api
kemarahan tidak bisa di bendung, yang aku dapatkan malah sebuah hantaman
bogem-bogem mentah dari tangan lelaki kampung yang kekar, aku terhuyung di
antara pengunjuk rasa itu.
“Kampung
kita dijual, kampung kita dijual!” teriakan itu terdengar samar-samar sebelum
tubuhku terhempas ketanah.
*
* *
Dua
tahun lebih rasa rindu di kampung Kaki Selangit tak terbendung lagi, dan hari
ini aku memutuskan untuk kembali kekampung ini, aku tak perduli walaupun aku
memilik catatan pilu di akhir-akhir masaku disini. Tapi ternyata desa Kaki
Selangit sudah berubah, tak lagi kutemui rumah-rumah sederhana yang berdinding
dari anyaman bambu dan kayu disni, tak lagi kulihat ibu-ibu dengan beban di
pungung dan tawa riang anak-anak saat menapakkan kakinya selangkah demi
selangkah menaiki anak tangga berbatuan, tak lagi hidungku menghirup udara
segar, rumah-rumah dan Villa mewah berjejer mengisi lahan di pinggir jalan
utama, selang-selang besar itu menjulang ke sungai menyalurkan limbah-limbah
perumahan, sungai tercemar, lingkungannya menjadi gersang, suasana pegunungan
tak dapat lagi kunikmati dengan ketenangan, semua habis diraup oleh
pengusaha property. (*)
Prabumulih,
Akhir Agustus 2013
*cerpen ini juara sayembara cerpen silampari, Lubuklinggau, 2013.
Fahry Alamsyah,
Cerpenis kelahiran Prabumulih,
berprofesi tukang sampah
sekaligus menjabat sebagai
ketua FLP Prabumulih.